Faktor Pendukung Minuman Alkohol Masuk Ke Indonesia

Raymond terhitung menemukan bahwa minuman fermentasi jadi rutinitas di umumnya lokasi pesisir sebagai cara masyarakat beradaptasi bersama iklim.

“Di udara berangin, minuman itu (fermentasi) muncul,” kata dia.

Fermentasi, kata Raymond, merupakan cara pembuatan air minum yang paling tua. Seiring masuknya budaya baru, arti distilasi pun muncul. Nama paling akhir ini merupakan teknik lain pembuatan minuman beralkohol, yang menurut Raymond, tergoda oleh budaya China dan Eropa yang mampir ke Nusantara. Alhasil, ragam minuman fermentasi dan distilasi tradisional mewarnai aneka kearifan lokal berasal dari Sabang hingga Merauke.

“Minum tidak mampu disebut sebagai penyimpangan. Tapi itu bentuk kontinyuasi berasal dari yang pernah pernah ada,” ujar antropolog Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto kepada CNNIndonesia.com beberapa pas lalu.

Sejarah mencatat, rutinitas minum telah hadir lama sebelum Indonesia jadi bangsa. Catatan itu dibuktikan di dalam naskah Nagarakretagama (1365) yang ditulis pada era keemasan Kerajaan Majapahit abad ke-14. Dalam naskah itu dikisahkan, minuman beralkohol layaknya tuak nyiur, arak kilang, dan tuak rumbya jadi hidangan utama sebuah jamuan. Minuman-minuman itu ditaruh di dalam sejumlah porong dan guci.

Salah satunya dikerjakan Sri Raja Kertanegara, raja paling akhir pemimpin Singasari, kerajaan Hindu (Siwaisme)-Budha di Nusantara. Dalam naskah yang sama, sebagai seorang Tantrayana, Kertanegara dikisahkan menjalani rutinitas pemujaan yang merujuk pada hal-hal berupa destruktif atau hedonisme di dalam bhs yang lebih kekinian. Ragam ritual yang hadir pun tak lepas berasal dari pelbagai rutinitas layaknya minuman beralkohol dan seks demi pencapaian nirwana.

Dalam rutinitas Hindu-Budha, tuak dan arak miliki posisi penting, sebagaimana yang nampak pada masyarakat Dayak-Kaharingan hingga pas ini, misalnya, yang miliki minuman Baram. Minuman fermentasi beras khas Kalimantan Tengah itu tak cuma jadi bagian berasal dari identitas, tetapi terhitung berkenaan hal-hal yang berupa kultural dan mitologis. Baram digunakan di dalam upacara Tiwah, ritual mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju daerah yang dituju.

Minuman Jadi Hal Perlu Di Dalam Penyusunan Konteks Kebudayaan

Beda dulu, beda sekarang. Seiring berjalannya waktu, minuman fermentasi dan distilasi beserta rutinitas minum yang pernah merona di era selanjutnya kian mengalami pergeseran makna.

Di beberapa daerah, terhitung Jawa, minuman beralkohol berubah berasal dari suatu hal yang sakral jadi yang profan. “Jelas tersedia perubahan. Minum arak amat berfaedah di era Kertanegara, tetapi jadi ke sini, fungsinya berubah,” jelas Aji.

Perubahan itu dibuktikan oleh beberapa catatan literatur yang menggambarkan budaya minum yang berubah jadi sebentuk hedonisme dan sistem pembaratan.

Kuntowijoyo di dalam Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, misalnya, mencatat kegemaran Pakubuwana X di Kasunanan Surakarta melakukan kundisi-dalam bhs Inggris bermakna ‘toast’-dengan residen-residen pada zamannya. Juga Anak Bangsawan Bertukar Jalan, saat Budiawan mencatat rutinitas dansa-dansi serta pesta yang merasuki kehidupan Pura Pakualaman pas kepemimpinan Pakualam IV.

Namun, Aji menolak pergantian makna budaya itu disebabkan kehadiran Belanda di Nusantara. Menurutnya, pergantian itu berlangsung tepat setelah Islam membawa dampak luas di tanah Jawa, apalagi bersama kehadiran Kesultanan Mataram Baru.

“Jadi kesannya hedonis, seolah-olah itu berlangsung sebab kedekatan mereka bersama Belanda. Padahal tidak,” kata Aji.